Hentikan Perundungan Ciptakan Empati Ditangan Kita, Kasus penghinaan ironis yang terjadi di satu diantara sekolah dasar di Indragiri Hilir, Riau, menjadi teguran keras untuk kita semua—bahwa kekerasan, sekecil apa pun itu memiliki bentuk, dapat berbuntut pada kehilangan yang tidak terpindahkan. Seorang anak kehilangan nyawa, dan sebuah keluarga kehilangan keinginan masa datangnya.
Kejadian marettoto ini bukanlah sekedar permasalahan pribadi, tetapi cermin dari rintangan besar yang kita temui dalam membuat lingkungannya yang aman, sehat, dan manusiawi untuk beberapa anak Indonesia. Penghinaan bukan sisi proses dari tumbuh berkembang, bukan juga bentuk didikan, apalagi pembangunan watak. Dia ialah bentuk kekerasan yang perlu kita musuh bersama-sama.
Sebagai warga yang junjung beberapa nilai kemanusiaan dan keadilan, kita perlu mengganti langkah pandang—dari cuma mempersalahkan, menjadi membangun dan menghambat. Memberikan empati sejak awal, membuat komunikasi sehat di antara guru, siswa, dan orangtua, dan perkuat pendidikan watak harus jadi fokus utama setiap rumah dan sekolah.
Radikalisasi reaksi atau pembalasan kekerasan cuma akan perpanjang rantai cedera. Yang kita perlukan ialah keteguhan hukum yang adil, pelindungan lengkap untuk korban, dan pemulihan untuk aktor supaya tidak mengulang kekeliruan sama. Seluruh pihak harus bergerak: sekolah, keluarga, aparatur penegak hukum, dan pemerintah—bersatu menjaga masa datang beberapa anak kita.
Sama seperti yang dipertegas Menteri Pendayagunaan Wanita dan Pelindungan Anak (PPPA), Bijakah Fauzi, negara datang dan terus akan menjaga proses hukum dan rekondisi untuk keluarga korban. Ini bukanlah akhir, tetapi titik tolak untuk pastikan tidak ada anak sebagai korban kekerasan di ruangan yang semestinya menjadi tempat tumbuh dan belajar.
Silahkan kita menjaga beberapa anak kita. Dengan cinta, dengan keberanian menyapa, dan dengan keberanian untuk berbeda.